MENOLAK PUNAH BERSAMA SAMPAH

Saatnya Revolusi Hijau Dimulai dari Diri Sendiri

Berita, Nasional61 Views

Setiap tanggal 5 Juni, dunia memperingati World Environment Day sebagai momentum reflektif dan aksi nyata terhadap kondisi bumi. Tema tahun ini, “Ending Plastic Pollution,” bukan sekadar slogan kosong, tetapi panggilan darurat terhadap krisis global yang perlahan menggerogoti masa depan peradaban. Indonesia, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, justru menjadi kontributor sampah plastik kedua terbanyak di lautan setelah Tiongkok (Jambeck et al., 2015). Ironisnya, isu ini belum menjadi kegelisahan publik secara menyeluruh, terutama di kalangan generasi muda. Padahal, merekalah pewaris bumi di masa depan. Dibutuhkan pendekatan edukatif yang masif dan terstruktur kepada Generasi Z agar mereka tidak hanya mewarisi planet yang sakit, tetapi juga mampu menyembuhkannya melalui perubahan perilaku kolektif dan kebijakan berkelanjutan.

Kondisi lingkungan Indonesia hari ini berada pada titik nadir. Timbunan masalah lingkungan hidup seolah tidak berbeda jauh dengan tumpukan sampah yang menggunung di kota-kota besar. Dari pembalakan liar yang meluas di Kalimantan dan Papua hingga pertambangan ilegal di Sulawesi dan Sumatera, semua menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan absennya keberpihakan negara terhadap lingkungan hidup (Walhi, 2024). Banyak perusahaan besar menjalankan aktivitas tanpa izin AMDAL yang sah, namun tetap mendapatkan perlindungan dari aparatus negara. Ini menunjukkan adanya conflict of interest antara kepentingan ekologis dan kepentingan ekonomi-politik yang lebih dominan. Ketika negara seharusnya menjadi pelindung lingkungan, ia justru menjadi bagian dari perusak lingkungan.

Masalah lingkungan hidup bukan hanya soal sampah plastik dan deforestasi, melainkan cerminan dari struktur sosial-politik yang tidak berpihak pada kelestarian hidup. Pilkada dan kampanye politik misalnya, seringkali hanya memanfaatkan isu lingkungan sebagai alat retorika demi suara, tanpa ada niat serius untuk menyelesaikan akar masalahnya. Kebijakan pembangunan justru kerap menjadi biang kerok rusaknya daya dukung lingkungan. Lihat saja bagaimana proyek infrastruktur besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan, meskipun disebut-sebut sebagai “kota hijau,” nyatanya mengancam kelestarian ekosistem hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia (Greenpeace Indonesia, 2023). Ini bukan sekadar ironi, melainkan tragedi ekologis yang dipoles dengan narasi modernitas.

Di tengah situasi kritis ini, gerakan akar rumput menjadi semakin penting dan strategis. Yayasan Anugrah Hijau Indonesia-Ku (YAHI) mengambil langkah konkret melalui program rutin Jogging-Plogging, yakni berolahraga sambil memungut sampah, bersama generasi muda khususnya Generasi Z untuk menumbuhkan kepedulian kolektif yang otentik. Kegiatan ini dilakukan setiap pekan atau setiap bulan secara bergilir di berbagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Medan. Gerakan ini mengajak masyarakat memulai dari yang paling sederhana: sampah sendiri, di sekitar kaki sendiri. Kampanye ini sekaligus menjadi ajakan terbuka kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi secara massif dan berkelanjutan. Inilah bentuk nyata dari moto “mulai dari diri sendiri untuk bumi yang lestari.”

Kita bisa belajar dari negara-negara yang sukses membangun budaya ekologis sejak dini. Jepang, misalnya, memiliki sistem pengelolaan sampah yang tertata rapi, hasil dari pendidikan lingkungan yang dimulai sejak usia sekolah dasar. Masyarakat diajarkan memilah sampah secara disiplin karena tahu bahwa setiap limbah memiliki konsekuensi ekologis. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia bahkan telah memproses 99% sampahnya melalui daur ulang dan pembakaran energi (Statista, 2022). Mereka berhasil karena pendidikan, regulasi, dan kolaborasi publik-swasta dilakukan secara konsisten dan tidak sporadis. Inilah yang harus menjadi teladan bagi Indonesia jika ingin keluar dari jebakan krisis ekologis.

Indonesia perlu melakukan perubahan paradigma dalam memandang isu lingkungan. Perlu ada pergeseran dari pendekatan represif menjadi edukatif, dari reaktif menjadi proaktif. Generasi Z sebagai kelompok digital native harus menjadi garda terdepan gerakan ini. Dengan potensi mereka dalam mengakses informasi dan berjejaring, generasi muda bisa menjadi agen perubahan yang efektif melalui kampanye digital, komunitas peduli lingkungan, hingga start-up berbasis ekologi. Namun semua itu tidak cukup jika tidak didukung oleh sistem pendidikan yang memasukkan kesadaran lingkungan ke dalam kurikulum formal. Pendidikan ekologis harus menjadi bagian dari pembangunan karakter anak bangsa.

Kesadaran kolektif juga harus ditunjang dengan gerakan nyata di tingkat komunitas. Jangan tunggu gerakan besar, mulai saja dari hal kecil namun konsisten. Jogging sambil memungut sampah (plogging), berkegiatan di hari bebas kendaraan (CFD) sambil menanam pohon, atau mendaur ulang sampah rumah tangga bisa menjadi bentuk nyata cinta lingkungan. Hal ini sejalan dengan konsep eco-literacy atau kecerdasan ekologi yang menekankan pentingnya memahami hubungan antara manusia dan lingkungan (Orr, 2004). Masyarakat yang eco-literate adalah masyarakat yang peduli, bertanggung jawab, dan aktif menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari kehidupan spiritual dan moral mereka.

Namun kita juga tidak bisa hanya berharap pada masyarakat sipil. Negara harus hadir secara serius dalam menyusun regulasi tegas, transparan, dan berpihak pada kelestarian lingkungan. Harus ada penguatan institusi seperti KLHK, peningkatan anggaran konservasi, dan sanksi tegas kepada pelaku kejahatan lingkungan tanpa pandang bulu. Negara juga harus mendorong korporasi untuk mengadopsi prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) sebagai tolok ukur keberhasilan bisnis, bukan hanya profit semata. Regulasi dan insentif bisa menjadi alat penting dalam menciptakan ekosistem ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Sudah saatnya kita berhenti menjadi penonton dalam kerusakan lingkungan yang terjadi di depan mata. Mari ubah rasa frustasi menjadi gerakan. Mari ubah rasa cemas menjadi aksi. Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini harus menjadi awal dari revolusi hijau yang dimulai dari rumah, dari sekolah, dari komunitas, dan dari dalam hati kita masing-masing. Kita tidak bisa menunggu pemimpin ideal datang menyelamatkan bumi. Kitalah pemimpin itu. Kitalah generasi yang bisa mencegah kepunahan bumi, sebelum terlambat. Sebab bumi tak butuh kita, kitalah yang butuh bumi untuk tetap hidup.