Biaya Sekolah Mahal, Tapi Guru Melarat

Artikel314 Views

Dalam beberapa dekade terakhir, tumbuh subur sekolah-sekolah Islam yang membranding dirinya sebagai sekolah unggulan, sekolah karakter, sekolah berbasis tauhid, bahkan sekolah berstandar internasional. Fasilitas megah, biaya pendidikan tinggi, dan promosi masif menjadi wajah luar yang menggambarkan kesuksesan lembaga tersebut. Namun, ironisnya, kesejahteraan guru yang merupakan ujung tombak pendidikan di dalamnya seringkali tidak sejalan dengan kemegahan sekolah. Guru-guru tetap digaji dengan nominal yang jauh di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), bahkan di beberapa daerah masih ada guru tetap yayasan yang menerima kurang dari dua juta rupiah per bulan. Lantas, apakah profesionalisme guru bisa tumbuh di atas penderitaan dan kemiskinan yang ditutup-tutupi oleh narasi “syukur” dan “qanaah”?

Fenomena ini tidak hanya soal ketimpangan ekonomi, melainkan ketimpangan nilai. Dalam Islam, keadilan (‘adl) dan amanah adalah pilar utama dalam pengelolaan lembaga. Namun, banyak yayasan pendidikan justru menjadikan narasi-narasi spiritual sebagai penenang, bahkan pembungkam aspirasi para guru. Kalimat-kalimat seperti “Allah yang akan mencukupkan kekuranganmu,” atau “ikhlaslah karena ini ladang pahala,” seolah menjadi pengganti hak guru untuk hidup layak. Padahal, Rasulullah SAW telah bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” (HR. Ibn Majah). Menggaji guru secara layak bukan hanya kewajiban administratif, tetapi bentuk nyata dari pengamalan nilai-nilai Islam.

Kondisi ini diperparah oleh pola pengelolaan keuangan sekolah yang tidak transparan. Di banyak sekolah Islam, komite keuangan dan yayasan memiliki kendali penuh atas aliran dana, tanpa mekanisme audit yang independen. Para pimpinan yayasan bisa dengan mudah menetapkan honor mereka sendiri, tunjangan perjalanan dinas, hingga membeli kendaraan operasional mewah atas nama “efisiensi manajemen,” sementara guru-guru tetap harus iuran untuk pelatihan peningkatan kompetensi. Ketimpangan ini menimbulkan luka struktural yang lama-lama menggerogoti moral kerja para guru. Ketika mereka diminta bekerja dengan profesionalisme tinggi, tetapi tidak diberi upah yang manusiawi, maka muncul istilah sinis, “diprofesionalkan tapi tidak diprofesionalkan.”

Sistem penggajian yang tidak adil juga berimbas pada kualitas layanan pendidikan. Guru yang hidup dalam keterdesakan ekonomi sulit untuk fokus dalam proses pembelajaran. Banyak dari mereka yang harus mengambil pekerjaan tambahan di luar sekolah seperti les privat, jualan online, atau bahkan menjadi ojek daring untuk mencukupi kebutuhan harian. Hal ini tentu berpengaruh pada energi, waktu, dan kualitas pengajaran mereka di kelas. Kualitas pendidikan yang diimpikan oleh orang tua murid pun akhirnya menjadi paradoks mereka membayar mahal, tetapi tidak mendapatkan layanan yang sebanding karena guru-guru yang menjadi tulang punggungnya hidup dalam tekanan ekonomi yang tinggi.

Beberapa pengelola sekolah berargumen bahwa mereka belum mampu menggaji guru secara layak karena dana operasional belum stabil. Namun argumen ini tidak berdiri tegak ketika realitas menunjukkan bahwa branding sekolah terus diperkuat dengan iklan-iklan berbiaya tinggi, pembangunan gedung terus dilakukan, dan para pimpinan yayasan sering tampak dalam acara-acara mewah. Ketika sekolah lebih sibuk mempercantik dinding luar daripada memperkuat pondasi kesejahteraan internal, maka pendidikan hanya menjadi etalase semu tanpa nilai hakiki. Pendidikan Islam seharusnya mengangkat martabat manusia, bukan menormalisasi eksploitasi berjubah dakwah.

Fenomena ini juga menunjukkan kegagalan institusi pendidikan Islam dalam menerjemahkan konsep “ghirah” dan “izzah.” Ghirah dalam membela hak guru dan izzah dalam membangun institusi pendidikan yang bermartabat. Pendidikan Islam seharusnya menjadi contoh dalam memperjuangkan keadilan ekonomi, bukan justru mengabaikannya. Saat ini kita membutuhkan manajemen sekolah yang bukan hanya berbasis syariah secara verbal, tetapi menerapkan prinsip-prinsip keuangan Islam yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan kolektif, bukan hanya elit yayasan. Di sinilah urgensinya untuk membangun tata kelola sekolah yang demokratis dan akuntabel.

Beberapa solusi konstruktif dapat dilakukan untuk mengurai benang kusut ini. Pertama, dibutuhkan audit independen terhadap keuangan sekolah secara berkala yang hasilnya disampaikan secara terbuka kepada seluruh pemangku kepentingan. Kedua, yayasan wajib menyusun skema gaji yang progresif dan adil sesuai dengan kualifikasi dan beban kerja guru. Ketiga, perlu ada intervensi dari negara dalam mengatur standar minimum kesejahteraan guru di sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah berbasis Islam. Ini bukan bentuk intervensi ideologis, melainkan kewajiban negara untuk menjaga martabat profesi pendidik.

Inspirasi bisa diambil dari beberapa lembaga pendidikan Islam yang telah berhasil menerapkan sistem penggajian guru yang layak dan transparan, seperti Daarut Tauhiid Boarding School dan Al Irsyad Al Islamiyyah. Lembaga-lembaga ini membangun kultur profesionalisme berbasis nilai Islam tanpa melupakan hak ekonomi guru. Mereka menempatkan guru sebagai subjek utama dalam pembangunan mutu lembaga. Bukan hanya dari aspek pelatihan kompetensi, tetapi juga dalam penghargaan finansial. Inilah model ideal yang perlu direplikasi oleh sekolah-sekolah Islam lainnya, bahwa dakwah dan profesionalisme tidak harus dipisahkan, dan bahwa spiritualitas tidak boleh menjadi alat pembungkam hak.

Refleksi mendalam perlu dilakukan oleh para pengelola lembaga pendidikan Islam. Apakah mereka sedang membangun pendidikan atau hanya mengembangkan bisnis keislaman yang menguntungkan segelintir orang? Jika narasi spiritual terus dipakai untuk menutupi ketimpangan struktural, maka yang terjadi bukanlah dakwah, melainkan manipulasi. Islam bukanlah agama yang membenarkan kemiskinan struktural, apalagi jika itu dilakukan atas nama pendidikan. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan dalam keadilan distribusi, dan para sahabat tidak pernah menjadikan agama sebagai alasan untuk melestarikan ketimpangan.

Akhirnya, kita perlu menyuarakan perubahan bukan dengan narasi marah, tapi dengan argumentasi kuat dan tindakan nyata. Jika sekolah Islam ingin menjadi pelita umat, maka mereka harus menjadikan guru sebagai prioritas, bukan hanya simbol. Kesejahteraan guru bukan tambahan, tetapi keharusan. Pendidikan tidak bisa besar di atas pengorbanan sepihak yang tidak berkeadilan. Mari bangun kesadaran kolektif: sekolah mahal haruslah setara dengan guru sejahtera, karena pendidikan berkualitas hanya lahir dari hati dan pikiran yang bebas dari beban hidup yang mencekik.
———————-
Engran Silalahi (Guru Peradaban Indonesia)

– Penjamin Mutu Pendidikan Yayasan Assakinah Medan
– Praktisi Sekolah Unggul Gratis
– Kabid BPS JSIT Indonesia Wilayah Sumut